Penuh



Melulu.
            Aku tidak mau menjadi remaja yang melulu. Hidupku adalah pelangi bukan televisi hitam putih yang ketika saluran manapun dipilih yang muncul warnanya ya tetap hitam dan putih. Maka ketika hari demi hari, tahun demi tahun berganti aku tidak ingin menjadi remaja yang melulu buat kenakalan, melulu memikirkan tentang cinta, melulu bermain, melulu berorganisasi bahkan melulu belajar. Aku tidak mau mengisi hidupku dengan satu warna saja.
            Persahabatan, Cinta, cita, bermain, hobi, berorganisasi atau mungkin sedikit kenakalan—asal jangan berlebihan dan menjurus pada tindak kriminal, misalnya mencuri. Tapi jika yang terjadi adalah mencuri hati kurasa itu bukan tindak kriminal—mewarnai hidupku sesuai porsinya. Aku ingin mengalami semuanya, karena hidup banyak rasa seperti yang dicetuskan sebuah iklan minuman.
            Aku pernah membaca sebuah kisah tentang seorang guru yang ingin mengajarkan makna kehidupan kepada murid-muridnya.
Guru tersebut menyiapkan sebuah toples yang ia letakkan di atas meja. Lalu guru memasukkan pasir ke dalamnya hingga penuh dan bertanya kepada murid-muridnya,
“Apakah toples ini penuh?”
“Penuh!”, murid-muridnya serempak menjawab.
            Kemudian guru tersebut mengeluarkan kembali pasir dari toples hingga kosong. Ia kini memasukkan batu-batu yang ukurannya cukup besar ke dalam toples, lalu kembali bertanya kepada murid-muridnya.
Apakah toples ini penuh?”
“Penuh!”, murid-muridnya kembali menjawab.
            Setelah itu ia mengeluarkan batu-batu itu seperti yang ia lakukan pada pasir hingga toples itu kosong kembali. Sekarang ia memasukkan kerikil-kerikil ke dalam toples itu hingga menyentuh bibirnya, ia kembali mengajukan pertanyaan yang sama kepada murid-muridnya.
“Apakah toples ini penuh?”
“Penuh!”, kali ini murid-muridnya menjawab dengan penasaran apa yang dilakukan sang guru.
            Seperti yang ia lakukan sebelumnya, kali ini pun guru mengeluarkan kembali kerikil-kerikil dari dalam toples. Namun ia tidak lagi memasukkan sesuatu sebagai penggantinya.
“Menurut kalian bagaimana agar pasir, batu-batu dan kerikil seluruhnya dapat masuk ke dalam satu toples?”, guru tersebut mengajukan pertanyaan.
            Semua muridnya kebingungan, bagaimana mungkin batu, kerikil dan pasir yang masing-masing tadi memenuhi toples kini harus masuk seluruhnya?
“Ada yang bisa menjawab?”
Semua muridnya menggeleng, bahkan wajah mereka penuh dengan kebingungan.
“Baiklah akan bapak tunjukkan bagaimana caranya!”, ucap guru dengan tersenyum.
            Sang guru kembali meletakkan toples kosong di tengah-tengah meja kemudian ia mengambil batu-batu dan mengisikannya ke dalam toples. Ia bertanya kepada murid-muridnya,
“Apakah toples ini penuh?”
“Penuh!”, kali ini murid-muridnya menjawab dengan nada tidak sabar.
            Setelah itu guru mengambil kerikil-kerikil kecil dan memasukkannya ke dalam toples yang sebelumnya telah berisi batu-batu, langsung saja kerikil-kerikil itu itu mengisi ruang-ruang kosong diantara batu-batu.
“Apakah toples ini penuh?”
“Penuh!”, sekarang beberapa murid mulai tersenyum.
            Kali ini sang guru mengambil pasir dan memasukkannya ke dalam toples yang telah berisi batu dan kerikil. Butiran-butiran pasir mampu memenuhi ruang-ruang tersisa yang tidak diisi oleh batu dan kerikil. Akhirnya toples ini kini mampu menampung batu, kerikil dan pasir di dalamnya.
“Apakah toples ini penuh?”
“Penuh!”, jawab murid-murid dengan suara yang mantap.
            Guru tersebut kemudian melangkah ke tengah tepat di depan papan tulis dan mengangkat toples itu agar bisa dilihat dengan jelas oleh murid-muridnya.
“Beginilah kehidupan, nak!”, ucap guru seraya memegang erat toples. “Kau bisa membuat hidupmu penuh dengan mengisi apa saja, satu macam atau beberapa macam unsur.”
‘Toples ini diibaratkan kehidupanmu, sedangkan batu adalah apa-apa yang kau lakukan kepada Tuhanmu, yaitu amal-amal baik untuk hari yang tak pernah berakhir. Jika kau hanya mengisi hidupmu dengan beribadah kepada Tuhan, maka hidupmu telah penuh dengan cukup kebaikan. Tapi jika kau juga ingin meraih kesuksesan di dunia maka isi juga toplesmu dengan kerikil, isilah juga hidupmu dengan belajar di sekolah dan giat bekerja maka kehidupanmu akan sempurna!”, papar sang guru.
Ia mengambil napas sejenak dan melanjutkan, “Tapi tentu saja hidup tidak melulu berisi ibadah dan kerja keras, hidup juga perlu diisi dengan sedikit hiburan agar penatmu hilang. Maka isilah ruang-ruang kosong kecil yang disisakan batu dan kerikil dengan pasir. Setelah kau menunaikan semua titah Tuhanmu dan tunai dalam pekerjaanmu, bersenang-senanglah sebentar agar energimu terisi kembali, berkumpulah bersama keluarga dan pergilah bersama teman-teman. Dengan mengisi hidupmu dengan tiga unsur tersebut, maka hidupmu akan sempurna dan kau akan menjalaninya dengan perasaan bahagia.”
Murid-muridnya puas dengan pengajaran gurunya, mereka semua tersenyum dan bertepuk tangan.
“Sebentar, pengajaran ini belum selesai.” Guru tersenyum, murid-muridnya kembali fokus memerhatikan dan bertanya-tanya apalagi yang akan diterangkan gurunya.
“Coba kalian bayangkan, saat toples ini diisi penuh oleh pasir saja apakah masih ada ruang untuk batu-batu dan kerikil?”
            Murid-muridnya menggeleng.
“Jika kalian hanya mengisi waktu dengan bersenang-senang maka habislah waktu untuk beribadah, belajar dan bekerja. Walaupun bersenang-senang juga merupakan unsur yang penting tapi jika kalian hanya mengisi kehidupan kalian dengan bersenang-senang saja maka hidup kalian akan jatuh pada kesia-siaan. Jadi ada yang bisa kalian simpulkan dari cerita ini?”
            Beberapa orang muridnya mengacungkan tangan dan ia memilih satu yang paling cepat mengacungkan tangannya.
“Silakan.”
“Menurut saya inilah pentingnya mengatur prioritas. Jika semua hal yang penting ingin kita masukan dalam kehidupan kita maka kita harus mengatur mana dulu yang harus kita lakukan. Maka membuat urutan prioritas menjadi hal yang harus dilakukan, lakukanlah kewajiban paling penting yaitu prioritas kita paling besar yang diibaratkan dengan batu-batu yang ukurannya juga paling besar diantara ketiganya, yaitu kewajiban kepada Tuhan. Setelah itu belajar dan bekerja untuk menopang kehidupan kita, setelah keduanya dilaksanakan secara total barulah bersenang-senang yang diibaratkan dengan pasir yang kecil sekali dan ringan saja. Namun jika urutan prioritas ini dibalik tentu saja yang terjadi adalah kesia-siaan. Begitulah menurut saya kesimpulannya,” murid itu menundukkan kepalanya dan duduk kembali ke tempatnya.
Sekarang giliran sang guru yang tepuk tangan atas jawaban muridnya, “tepat sekali!”
Sang guru melanjutkan, “Jika kalian ingin hidup kalian penuh kebaikan, kaya pengalaman dan sukses aturlah prioritas hidupmu secara benar!”
Jika ada kritik, saran dan pertanyaan mengenai pengajaran sang guru yang baru saja kuceritakan, silakan layangkan kepada beliau.
*********
Penulis : Aya Sofi Rumaisha
Catatan dari zaman SMA,silakan dinikmati apa adanya.


2 komentar:

  1. Ini keren, analoginya bagus. kalau ada banyak tulisan seperti ini, Mario Teguh pun bisa lewat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe nanti mungkin menemukan analogi yang bagus lagi untuk jadi cerita :)

      Hapus