Pagi ini terasa sangat berbeda bagi
Aisyah, karena pagi ini adalah pagi pertama Aisyah berada di rumah Abah. Rumah
yang sekaligus menjadi tempat Aisyah menghabiskan masa kecilnya. Masih dengan
arsitektur bangunan yang sama, rumah kayu dengan sedikit sentuhan budaya sunda,
dan dominan berwarna coklat. Tapi sayang, suasananya yang nampak berbeda. Tidak
ada lagi suara yang mengingatkan Aisyah akan hal-hal yang membahayakan.
"Aisyah, jangan main di atas
pohon nanti jatuh!"
Atau
sesekali mengingatkan Aisyah makan.
"Aisyah sini makan dulu Cu,
Emak sudah buatkan sayur asem kesukaanmu nih!"
Emak sosok nenek yang selalu menjadi
panutan bagi cucu-cucunya, dan kini hanya tinggal kenangan yang masih tersisa. Empat
puluh hari telah berlalu, meninggalkan kenangan dan perasaan kehilangan yang
mendalam. Sampai saat ini, Aisyah masih selalu merasa bahwa Emaknya itu masih
ada. Namun sayang ....
"Aisyah cepat, kamu mau ikut ke
kedai tidak?" teriak abah yang membangunkan lamunan Aisyah seketika.
"Iya bah, tunggu
sebentar."
Dengan gerak yang terburu-buru, Aisyah
bergegas mengambil tasnya dan berlari menghampiri Abah yang telah menunggu di
depan pintu.
Kabut memang masih menyelimuti pagi
itu, dan udara dingin sangat terasa. Tapi semua itu takkan jadi halangan bagi
Abah untuk mengalahkan kakinya menuju kedai, sebuah tempat yang dapat
menghilangkan kepenatan Abah selepas kepergian Emak.
Belum sempat membereskan semua peralatan,
para pelanggan Abah sudah setia menunggu secangkir bandrek hangat buatan abah.
Usia abah memang sudah tidak muda lagi, tapi semangat dan kreatifitas Abah
dalam meracik bandrek sudah tidak diragukan lagi. Karena sudah lebih dari
setengah abad Abah membuat bandrek, dan sudah berbagai macam kreasi bandrek
yang Abah racik.
Hanya dengan dua orang pegawai yang
membantu, Abah tidak pernah mengeluh dan kewalahan akan pekerjaannya itu.
Selain langsung dinikmati di kedai, bandrek Abahpun telah dikemas dan siap
untuk dikonsumsi rutin dirumah konsumen masing-masing.
"Bah, sini biar Aisyah yang bawakan!"
Aisyah
menyodorkan tangan kepada Abah untuk membawa nampan yang dipegang Abah.
"Tidak apa-apa, tidak usah
repot-repot Cu, Abah sudah biasa kok! Lagian kamu disini untuk berlibur bukan
untuk bekerja."
Aisyah hanya terdiam dan memberikan
senyuman manisnya kepada Abah, Aisyah tahu bagaimana sikan Abah. Kalau tidak ya
tidak, nanti malah marah kalau tidak dilaksanakan.
"Okelah Bah, Aisyah tak akan
memaksa."
"Nah begitu! Kamu sebaiknya
duduk manis saja, nanti abah bandrek spesial untukmu."
Memang paling pas menikmati udara
sejuk dan dinginnya Ciwidey yang berada di bawah kaki Gunung Patuha ini
ditemani dengan secangkir bandrek hangat buatan Abah.
Maka dari itu tak heran jika orang-orang
yang hendak berwisata ke Kawah Putih ataupun tempat wisata lainnya, selalu
menyempatkan diri untuk mampir ke kios Bandrek Abah. Sinar Matahari perlahan
mulai menyengat, kedai bandrek Abahpun semakin ramai.
Siang ini Aisyah akan bernostalgia
bersama sahabat kecilnya. Walaupun asli orang Ciwidey, tapi masih banyak
tempat-tempat yang belum Aisyah kunjungi. Rencananya hari ini Aisyah akan pergi
bersama Nia dan Sherli ke Kawah Putih.
Sesuai dengan rencana, terlihat dari
kejauhan dua orang perempuan melambaikan tangan kepada Aisyah dan bergegas
menghampiri kedai Bandrek Abah.
"Eh Neng Nia, Neng Sherli makin
geulis aja." Sapa Abah yang mendahului Aisyah.
"Bah, karena Nia dan Sherli
sudah datang, Aisyah pamit dulu ya Bah."
"Iya hati-hati Cu, dan jangan
pulang terlalu sore!"
Usai berpamitan tiga orang gadis itu
segera melangkahkan kaki dan mulai berjalan ke loket pembelian tiket wisata
Kawah Putih. Di tengah perjalanan tiba-tiba langkah Nia dan Sherli terhenti,
dan Aisyah yang berjalan lebih depanpun menoleh ke belakang, dan kembali ke
belakang dengan diliputi rasa aneh dan penasaran kenapa ke dua temannya berhenti
berjalan.
"Sherli, Nia kenapa kalian
berhenti?"
Seolah tak mendengar pertanyaan Aisyah,
Nia dan Sherli malah memperhatikan Aisyah dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Setelah Aisyah kembali bertanya, barulah Nia dan Sherli tersadar dari lamunannya,
dan Niapun langsung mengutarakan isi hatinya.
"Aisyah, maafkan kami. Adahal yang
ingin aku nyakan samu kamu Syah!"
Dengan rass penasaran Aisyah
menjawab. "Iya ada apa Ni, Li? Kalian terlihat aneh sekali melihatku."
"Sebenernya gini Syah, Aku sama
Nia ngerasa aneh sama..."
Karena takut menyinggung perasaan
Aisyah mereka merasa tidak enak untuk menanyakan perihal penampilan Aisyah sekarang.
Biasanya saat bepergian Aisyah berpenampilan simple, pakai celana jeans dan kaos
panjang saja. Sekarang 360 derajat dari biasanya. Rok panjang yang dipadukan
baju kemeja longgar dan hijab yang menjuntai menutupi hampir setengah dari
tubuhnya, terakhir pakai kaos kaki pula. Dalam hati Nia bertanya-tanya, Apa
yang sebenarnya terjadi pada Aisyah?
"Sama apa Sher? Kamu bikin Aku
penasaran gini deh!"
"Syah, Aku dan Nia merasa aneh
sama penampilan kamu sekarang."
Aisyah hanya tersenyum dan
memberikan penjelasan kepada 2 sahabat kecilnya itu. Bahwasannya sekarang
Aisyah telah menemuka jati dirinya yang baru sebagai wanita muslimah,
menggunakan pakaian tertutup, menjalani kehidupan untuk menjadi terus lebih
baik, terutama soal laki-laki.
Tidak ada istilah pacaran pada
prinsip Aisyah saat ini, maka dari itu Aisyah sering dijodoh-jodohkan Abahnya
dengan kenalan-kenalan Abah. Setelah diberikan penjelasan Nia dan Sherli pun
mulai paham apa yang dilakukan Aisyah.
"Aku mengerti Syah, dan maafkan
kami jika pertanyaan tadi menyinggung perasaanmu."
"Iya aku tidak apa-apa kok Ni,
Aku senang kalian bisa memahami keadaanku saat ini."
Mereka bertigapun melanjutkan
perjalanan yang sempat terhenti kurang lebih selama sepuluh menit, dan akhirnya
mereka membeli tiket masuk seharga 18.000 per orang. Karena mereka tidak membawa
kendaraan, maka harus menggunakan mobil angkutan umum untuk menuju kawah yang
kurang lebih berjarak lima kilo meter dari tempat pembelian tiket.
Perjalanan menuju kawah mereka lalui
dengan suka cita, segala lelucon semasa kecil seolah sungai yang meluap,
terluapkan tak ada hentinya diiringi dengan canda tawa. Aisyahpun tak lupa
mengabadika momen-momennya itu menggunakan kamera DSLR milinya.
Tak terasa 15 menit perjalanan,
akhirnya mereka sampai di Kawah Putih yang berada di ketinggian 2090 meter di
bawah permukaan laut. Lantas Aisyah segera menyiapkan kameranya untuk memotret
setiap keindahan ciptaan Allah SWT. Sambil memotret pesona keindahan Kawah
Putih, Aisyah tak henti-hentinya bertasbih kepada Allah SWT, karena rasa takjub
dan kekagumananya pada segala keindahan ciptaan Illahirabbi.
Tak terlewatkan pula untuk
mengabadikan momen bersama sahabatnya, Aisyah memasang tripod kamera agar
mereka bertiga bisa berfoto bersama-sama. Setelah puas memotret setiap sudut
keindahan yang disungguhkan Kawah Putih, Aisyah membereskan tripod dan
memasukkan kamera yang ia bawa ke dalam tas kameranya.
Waktu telah menunjukan pukul 12.15,
Aisyah dan 2 sahabatnya memutuskan untuk melaksanakan shalat dzuhur dan mencari
makan siang.
Makan siangpun telah selesai, Aisyah,
Nia dan Sherli bersiap-siap untuk pulang. Karena kabut sudah mulai turun
walaupun waktu masih menunjukan pukul 14.30.WIB.
Sesampainya di kedai bandrek, Aisyah
bermaksud untuk memperlihatkan hasil jepretannya kepada Abah, dan Aisyah baru
tersadar bahwa kameranya tertinggal saat ia makan tadi.
"Astagfirullohaladzim Bah, kamera
Aisyah tidak ada! Mungkin tadi Aisyah meninggalkannya di warung makan."
Aisyah berniat untuk kembali ke
tempat makan tadi, karena Nia dan Sherli sudah pulang, maka Abah menyuruh Aisyah untuk pergi ditemani pegawai Abah. Dan
Aisyahpun menyetujui permintaan Abah yang terbawa panik saat itu.
Kali ini 15 menit dari tempat
pembelian tiket menuju kawah terasa tiga kali lipat lebih lama, karena diliputi
perasaan yang tak karuan karena takut kameranya tidak dapat ditemukan. Ah, tak
bisa dibayangkan kamera kesayangannya itu bisa hilang, apalagi ia ingat masih
banyak foto yanh belum Aisyah pindahkan pada file lain.
Dengan langkah tergesa-geda Aisyah
langsung menuju warung makan yang Ia kunjungi tadi. Saat Aisyah menanyakan pada
pemilik warung, ternyata kamera Aisyah dibawa oleh para pemuda yang berniat
akan mengembalikan kamera Aisyah. Pemuda itu bilang tahu dengan alamay yang
dituju , karena sama-sama orang Bogor katanya. Aisyah baru ingat di tas kameranya
ada identitas Aisyah, walaupun alamatnya di Bogor. Tapi hal itu membuat Aisyah
sedikit lega, dan Ia berharap kameranya bisa kembali.
Di balik perasaan gelisah Aisyah,
seorang pemudan yanh menemukan kamera Aisyah merasa tak enak hati. Karena mungkin
Ia akan mengembalikan kameranya jika Ia pulang ke Bogor, setelah bered tugas
akhir penelitiannya di Ciwidey mengenai Budidaya Tanaman Strawberry. Pemuda
itupun mencoba mencari identitas lain di tas kamera yang Ia temukan, disana ditemukan
kartu Mahasiswa IPB atas nama Aisyah Nur'ainul Mardiah dari fakultas Ekonomi
dan Managemen, Alamat rumah.yang tertera yakni Jl.Ir H. Djuanda, Bogor.
Pemuda yang akrab dipanggil dengan nama
Fatih itu terus mencari Ia dapatka dari tas kamera.
" Kalau kamu mau tau lebih
jelas tentang pemilik kamera itu, lebih baik kamu liat saja foto-fotonya."
Cetus Rangga teman kelompo penelitian Fatih.
Awalnya Fatih menolak untuk melihat
foto di kamera itu, karena Ia merasa itu privasi dan tidak mungkin Ia melihat
tanpa seizin pemiliknya. Yah, begitulah Muhammad Alfatih Firdaus. Pemuda yang
sedikit berbeda dari kebanyakan teman-temannya, sopan dalam balutan islami.
Kalau menurut Rangga sih terkesan kolot kaya orang zaman dulu.
Karena rasa penasarannya, Fatihpun
menyetujui usul Rangga untuk melihat foto-foto pada kamera itu. Foto pertama
yang Fatih lihat adalah foto 3 orang perempuan dengan latar belakang keindahan
alam Ciwidey, yaitu tempat yang tadi mereka kunjungi. Setelah beberapa foto yang
dilihat Fatih menemukan foto di tempat yang Ia kenali dan sering dikunjungi
selama Fatih dan Mahasiswa lain berada di Ciwidey. Foto tersebut berlatar
belakang kedai Bandrek dan terdapat foto bersama Abah, Sang pemilik kedai itu.
Mengetahui hal tersebut Fatih langsung memberitahu Rangga dan meminta Rangga
untuk mengantar Fikri mengembalikan kamera besok siang setelah beres praktek.
"Tuh kan, apa gue bilang ada
hal yang ditemukan dari foto-foto itu."
"Iya makasih ga, atas saran
kamu saya menemukan petunjuk lain."
***
Keesokan harinya Aisyah yang
harap-harap cemas karena kamera yang hilang memutuskan untuk tidak terlalu
memikirkannya. Aisyah hanya percaya pada kekuatan do'a yang Ia panjatkan,
karena pada hakikatnya semua yang terjadi merupakan kehendak Allah SWT, dan
jika Allah mengizinkan maka kameranya dapat kembali pada Aisyah. Tapi jika
tidak Allah akan memberi sebuah keikhlasan pada hati Aisyah.
"Sudahlah Syah, nanti biar Abah
belikan kamera baru untukmu." Cetus Abah yang ingin menghibur cucunya yang
terlihat muram.
"Tidak perlu Bah, Aisyah sudah
ikhlas kalau memang kamera itu tidak kembali , dan Aisyah mau mints izin.
Sekarang Aisyah mau pergi ke rumah Sherli, sekalian mau belajar cara membuat
kalua jeruk."
"Iya silahkan saja, daripada di
rumah muram terus Abah jadi khawatir sama kamu."
Pada kesempatan berkunjung ke rumah Sherli
yang berada di daerah penghasil kalua jeruk, Aisyah ingin belajar membuat kalua
jeruk yang menjadi oleh-oleh khas ciwidey. Aisyah sangat senang jika berkunjung
ke rumah Sherli, karena pasti ia disuguhi makanan-makanan khas Ciwidey. Sebab
keluarga Sherli punya toko oleh-oleh khas ciwidey.
Tak terasa waktu telah menunjukkan
pukul tiga sore. Ternyata dengan membuat kalua jeruk Aisyah terlupa akan kameranya
yang hilang, Ia pun pulang dengan membawa teng-tengan kalua jeruk buatannya
agar dicicipi Abah.
Saat tiba dirumah, Abah belum pulang
dari kedai bandreknya. Karena kelelahan Aisyah pun yertidur di kursi ruang tamu.
Dan saat Abah datang, Ia tidak berani membangunkan cucunya yang terlihat lelah
sekali.
***
Adzan subuh berkumandang membangunkan
Aisyah dari tidurnya, Ia pun bergegas untuk berwudhu lalu melaksanakan shalat subuh
berjamaah bersama Abah. Seusai shalat Aisyah teringat kembali akan kameranya
yang telah dua hari tidak bersamanya lagi. Walaupun sebenarnya kamera itu sudah
ada di tangan Abah, tapi Abah belum memberitahu perihal sosok pemuda yang telah
mengembalikan kamera milik Aisyah itu.
"Aisyah, hari ini ada acara
kemana cu?" Tanya Abah kepada Aisyah yang sudah terlihat siap untuk bepergian.
"Tidak akan kemana-mana Bah,
Aisyah cuma ingin ikut Abah ke kedai.
"Ya sudah, kalau begitu kita
berangkat sekarang, nanti kalau telat pelanggan Abah pada protes."
Abah dan Aisyahpun langsung menuju kedai
yang sejak tadi sudah ramai dengan para wisatawan dan masyarakat sekitar yang
ingin menikmati secangkir bandrek Abah. Saat itu Aisyah ikut membantu Abah merapihkan
perlatan di dalam rak. Aisyah terkejut bukan main ketika Ia melihat sebuah tas kamera
berwarna hitam dan sudah tidak asing lagi baginya. Aisyah bertanya-tanya dalam hati.
Tas siapakah itu? Apa itu kamera baru yang dibelikan Abah? Atau...
"Ada apa Aisyah, kok kamu
melamun?"
"Aku bukan melamun Bah, tapi
itu tas kamera punya siapa, apa itu punya Abah?"
Abah
tersenyum dan menceritakan bagaimana kamera itu bisa kembali.
"Alhamdulillah do'aku terkabul
Bah."
"Iya kamu juga harus berterimakasih
kepada pemuda yang telah mengembalikannya. Dan ia bertitip pesan padamu, Alfat
meminta maaf karena lancang telah melihat foto-fotomu. Tapi Ia melakukan itu
hanya ingin mencari petunjuk untuk mengembalikan kamera ini."
"Ya sudahlah tidak apa-apa,
yang penting kamera ini telah kembali."
" Dia itu pemuda yang baik,
tampan, dan mahasiswa semester akhir pula." Canda Abah kepada Aisyah yang memang
belum menemukan tambatan hatinya.
Dari kejadian pengembalian kamera
itu, Fatih yang memperkanalkan diri sebagai Alfat dan teman-temannya menjadi
sering berkunjung ke kedai bandrek Abah, dan Abahpun merespon Fatih dan
teman-temanya. Bahkan Abah selalu menyempatkan waktu untuk menyambangi Alfat ke
tempat penelitian.
Di kedai bandrek, Abah sering mengajak
para mahasiswa IPB itu untuk lebih mengenal ciwidey dan bandreknya. Dengan
adanya mereka, sekarang hari-hari Abah menjadi lebih berwarna selepas kepergian
Emak.
Karena merasa sudah dekat dengan
para mahasiswa itu, terutama dengan Alfat. Abah sering membicarakan cucunya
(Aisyah) kepada Alfat. Dan diam-diam Alfat (Fatih) mulai tertarik dengan Aisyah,
walaupun sebenarnya Aisyah dan Alfat belum bertatapan langsung. Tapi lewat
foto-fotonya dan cerita Abah itu sudah membuat Alfat yakin bahwa Aisyah adalah
perempuan yang baik dan shalehah.
***
Matahari belum menampakan sinarnya, usai
shalat subuh Aisyah telah siap dengan ransel dan perbekalan yang cukup untuk
hiking ke Curug Cipanji yang masih ada di wilayah Ciwidey. Curug yang masih
Asri dan belum tersentuh campur tangan pengatur wisata ataupun tidak ada pengelola
wisata, jadi tidak ada tiket masuk yang harus dibeli pengunjung atau pendaki.
Aisyah berangkat bersama Sherli,
Nia, dan 5 orang teman Nia. Walaupun saat itu sedang musim hujan tapi tak
mengalahkan semangat Aisyah dan kawan-kawan untuk tetap pergi ke curug cipanji.
Untuk mencapai curug itu tidak mudah, harus menempuh perjalanan dengan jalan
kaki selama kurang lebih tiga kilo meter jika ke curug satu. Dan kali ini
Aisysh dan teman-temannya hendak menuju curug dua ang akan menambah perjalanan
kurang lebih dua kilo meter dari curug satu.
"Ya sebelum kita berangkat,
alangkah baiknya kita berdo'a untuk kemudahan dan keselamatam dalam perjalanan."
Kata Nia yang memimpin do'a saat itu dan serentak dijawab dengan Aamiin.
Hamparan kebun teh yang terlihat membuat
Aisyah semakin bersemangat melangkahkan kakinya. Selain jalan yang naik turun,
kondisi jalannya pun sedang tidak baik karena sedang musim hujan. Kondisi ini
membuat para pengguna jalan kesulitan, karena jika salah melangkah dibawah jurang
telah menanti.
Walaupun jalan yang ditempuh sulit,
tapi Aisyah tetap mengabadikan momenya itu dengan kamera yang disertai dengan
watertroop, agar saat hujan atau kebahasan masih bisa digunakan.
"Oke teman-teman kita sekarang
sudah sampai di curug satu, dan silahkan beristirahat sambil mengisi perut."
Ujar Nia yang menginstrusikan bagai pemandu wisata.
Di curug satu Aisyah dan
teman-temannya bertemu dengan pengunjung curug lainnya. Salah seorang teman Nia
yaitu Fazri bertemu dengan saudaranya di curug itu, dan akhirnya rombongam Nia
akan ke curug dua bersama Rombongan Fazri yang beranggotakan 8 orang.
Matahari mulai tertutup awan hitam,
suara kilatan petir mulai bersahutan, dan langitpun menjatuhkan tetesan-tetesan
airnya. Nia dan Fazri selaku pemimpin intruksi memerintahkan para pengikutnya
untuk segera memakai jas hujan ataupun jaket anti air. Dan Aisyah baru sadar
bahwa Ia lupa tidak memasukan jas hujan ataupun jaket ke dalam ranselnya.
Ketika itupun Aisyah panik dan memberitahu perihal tersebut kepada Nia.
Nia langsung memberi tahukan perihal
tersebut kepada semua orang yang ada di tempat, dan Ia berharap ada yang
membawa barang lebih. "Teman-teman, apakah kalian ada yang membawa jas
hujan atau jaket lebih, sebab teman saya Aisyah tidak membawanya."
Mendengar nama Aisyah, Fatih yang
menjadi salah satu dari anggota rombongan fazri lantas tercengang. Ia baru menyadari
bahwa Aisyah yang sekarang bersama-sama untuk menuju Curuf adalah Aisyah
cucunya Abah. Dengan perasaan iba Fatihpun memberikan jas hujannya kepada
Aisyah.
"Aisyah, ini pakai saja jas
hujan punyaku."
"Lalu kamu gimana?"
"Saya sudah pakai jaket anti
air kok, dan saya rasa kamu lebih membutuhkannya."
"Baiklah saya pakai, oh iya
namamu siapa?"
"Panggil saja Fatih"
Tanpa ada kata lain, Fatihpun membalikan
badan dan kembali untuk bersiap meneruskan perjalanan. Sementara dalam hati Aisyah,
masih terkagum-kagum kepada sosok laki-laki yang meminjamkan jas hujan tadi.
Kali ini perjalanan semakin
menegangkan. Selain guyuran hujan yang terus membasahi badan juga terdapat
jalan yang terkena longsor. Maka dari itu, jalam hanya bisa dilewati secara
bergantism. Dengan hati-hati satu per satu melewatinya dan saat giliran Aisyah, tiba-tiba kalung
kamera Aisyah terlepas. Saat Aisyah hendak menangkapnya, Aisyah hilang keseimbangan
dan akhirnya Ia terbawa oleh sekumpulan tanah yang berjatuhan. Aisyah bertahan
hanya dengan ranting pohon yang rapuh dan sewaktu-waktu dapat menjatuhkannya. Aisyahpun
berteriak minta tolong, semua orang yang melihat panik. Bagai seorang Pangeran
yang ingin menyelamatkan Sang Putri, tanpa rasa takut Fatih langsung meraih
tangan Aisyah dan ternyata Ia kesulita. Lalu dengan cekatan Fatih mengeluarkan
tali dari tasnya dan Ia berikan kepada Aisyah
Karena tindakan Fatih yang cekatan,
Aisyah dan kameranya bisa terselamatkan. Berarti sudah dua kali Fatih menyelamatkan
Aisyah, tapi Fatih merasa tak enak karena tadi lancang memegang tangan Aisyah.
" Aisyah, saya sungguh minta maaf,
tadi lancang memegang tanganmu."
"Ya saya paham, yang pentingkan
niatmu hanya ingin membantu tidak ada yang lain dan saya mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuanmu."
"Itu sudah kewajiban sesama
muslim untuk saling membantu." Jawaban singkat Fatih yang menutup
pembicaraan mereka.
Dan akhirnya setelah bersusah payah
dalam perjalanan mereka sampai di Curug dua. Terbayar sudah segala kesulitan di
perjalanan dengan keindahan alam yang masih asri.
Mahasuci Allah, ukiran-ukiran ciptaan-Nya
yang terpampang di bumi tak akan ada bandingannya. Tak terasa jarum jam sudah
menunjukkan waktu shalat dzuhur, semua yang ada di tempat melaksanakan ibadah
shalat dzuhur berjamaah.
***
Setibanya di rumah, Aisyah
menceritakan semua kejadiaannya tadi. Lantas Abah langsung kaget dan sangat
bersyukur bahwa cucunya masih bisa pulang dalam keadaan baik-baik saja.
Tak seperti biasanya sudah tengah
malam Aisyah tidak bisa tidur, rupanya Aisyah memikirkan seorang pemuda yang menolongnya
tadi, Aisyah hanya tau namanya saja selebihnya Ia tidak tahu apapun tentang
Fatih. Karena rasa penasarannya, Aisyah akan bertanya-tanya mengenai Fatih
kepada Fazri saudara Nia esok hari.
Setelah mendapatkan informasi dari Nia
bahwa Fatih adalah teman kuliah Fazri di Bogor, Aisyah sangat senang sekali
karena ternyata mereka se kampus. Mungkin sebelumnya mereka tidak pernah bertemu
karena terhalang perbedaan fakultas.
Aisyah ingin mendapatkan kontak Fatih,
hanya untuk menanyakan perihal jas hujan yang dipinjamnya harus dikembalikan
kemana, dan Aisyahpun mendapatkan kontak Fatih lewat perantara Nia dan Fazri.
"Assaalamualaikum,
masih ingatkah dengan saya? Aisyah yang meminjam jas hujan saat perjalanan ke
curug dan merepotkan kamu. Maaf saya mengganggu waktumu, saya hanya ingin
menanyakan perihal jas hujanmu yang saya pinjam harus dikembalikan kemana
ya?" Pesan singkat Aisyah kepada Fatih.
Tak
lama Fatih membalas pesan singkat Aisyah."Waalaikumussalam. Tidak kok,
kamu tidak menganggu saya. Tentu saja saya ingat, karena kejadian itu paling
dramatis bagi saya, perihal jas hujan itu kamu simpan saja, Anggaplah itu
kenang-kenangan dari saya."
Dari saling membalas pesan singkat,
Aisyah dan Fatih saling mengenal. Aisyahpun mulai tertarik dan menaruh hati
pada Pangeran penolongnya itu. Sementara Fatih yang dari awal sudah lebih dulu
menyimpan rasa ke tertarikannya pada Aisyah, berniat untuk memberitahu hal ini
pada Abah. Karena Fatih tahu dalam islam tidak mengenal istilah pacaran.
Mendengar keputusan Fatih yang ingin
mengkhitbah Aisyah, Abahpun sangat senang karena Abah ingin sekali cucu kesayangannya
itu segera kepelaminan.
"Alfat, bukannya Abah tidak mau
menerimamu. Tapi alangkah baiknya kamu langsung datang pada orangtua Aisyah di
Bogor, masalah Aisyah biar nanti Abah yang bicarakan." Usul Abah kepada Fatih.
Karena tugas penelitianpun sudah
selesai, tanpa berfikir panjang Fatihpun pergi ke Bogor untuk menemui orangtua
Aisyah. Sementara Fatih yang mengaku Alfat kepada Abah, tidak memberitahu Aisyah
bahwa Ia sudah membicarakan hal ini kepada Abah. Fatih hanya memberitahu Aisyah
bahwa Ia akan datang ke rumah orangtua Aisyah di Bogor.
Betapa bahagianya hati Aisyah kala
itu, sebentar lagi Ia akan dilamar oleh seseoranh yang Ia kagumi pula. Tapi
ketika Abah memberitahu Aisyah bahwa Abah telah menerima khitbah seorang
laki-laki yang menurut Abah sudah yang terbaik untuk Aisyah. Disitulah muncul
kebimbangan pada hati Aisyah.
"Bah terus bagaimana dengan Ibu
dan Bapak di Bogor, apakah mereka sudah mengetahuinya? Tanya Aisyah pada Abah
yang kekeh telah menjatuhkan pilihannya pada pemuda yang bernama Alfat (sosok
misterius penemu kamera).
Abahpun menjawab pertanyaan Aisyah
dengan sigap. "Yah, Alfat sudah ke Bogor untuk menemui Ibu dan Bapakmu.
Abah yakin Ibu dan Bapakmu pasti setuju sama pilihan Abah itu."
Aisyahpun terdiam seribu bahasa, dan
hati kecilnya berbicara. Bagaimana dengan Fatih Pangeran penolong hidupnya?
Fatihpun sudah berniat akan melamarnya. Apakah Fatih sudah terdahului oleh
Alfat? Saat ini Aisyah dalam kegundahan, memilih Pangeran penolong yang telah
memikat hatinya? Atau menyetujui permintaan Abah pada sosok misterius penemu
kamera?
"Ya Allah... Hanya kepada-Mu
aku berlindung, berserah diri dan bertawakal terhadap apa yang hamba pikirkan
dan resahkan." Secarik do'a Aisyah dalam tahajudnya.
***
Matahari masih malu-malu memancarkan
sinarnya, dan langit masih terlihat semu. Tapi suara handphone Aisyah
sudah nyaring terdengar. Lantas Aisyah langsung melirik handphone nya,
ternyata ada sebuah panggilan masuk dari Ibunya. Panggilan masul dari Ibu menjadi
sebuah pertanyyan besar bagi Aisyah.
" Assalamualaikum Aisyah..."
Suara Ibu terdengar jelas di telinga Aisyah.
Aisyah sontak menjawab "
Waalaikumussallam, Ada apa ya Bu? Pagi-pagi sudah telpon?
Dengan tenang dan jelas Ibu
menjelaskan bahwa Ia ingin memberitahu Aisyah nanti malam keluarga dari Bogor
akan ke Ciwidey, dan ibu harap Aisyah jangan kemana-mana. Karena ada hal
penting yang akan dibicarakan.
Tanpa berpikir panjang Aisyah
menjawab sahutan Ibu. "Baiklah bu, Aisyah juga akan kasih tau Abah perihal
ini."
Mendengar jawaban setuju Aisyah, Ibupun
memutup pembicaraannya.
Mengingat perkataan Ibu tadi, Aisyah
menghela nafas panjang dan menerka-nerka apa yang akan terjadi. Aisyab berfikir
bahwa Ibu dan Bapak telah menyetujui lamaram Alfat. Lalu bagaimana dengan
Pangeran penolong Aisyah? Apakah Ia mundur dan tak mengharapkan Aisyah lagi?
Dan apa yang difikirkan Aisyahpun sejalan
dengan keadaan, sekarang Aisyah sudah tidak menerima lagi pesan singkat dari
Fatih. Mungkin kali ini Aisyah hanya bisa bertawakal untuk menerima sosok
misterius itu, setidaknya Aisyah tahu bahwa Alfat orang baik yang telah mengembalikan
kameranya. Mungkin ini jawaban do'a yang Ia panjatkan, karena sejatinya yang
terbaik menurut manusia belum tentu terbaik menurut Allah. Dengan kepasrahan diri
kepada Allah, Aisyah akan menerima segala apa yang menjadi takdirnya.
Siang berganti malam, terlihat dua
buah mobil telah terparkir di pelataran rumah Abah. Aisyah tidak berani melihat
siapa saja yang turun dari mobil itu. Aisyah hanya ingin menunggu di kamar, dan
bertitip pesan kepada Ibunya, bahwa siapapun Aisyah akan setuju bila Abah dan
keluarga setuju.
Selama prosesi lamaran berlangsung
Aisyah hanya mendengarkan dari bilik kamarnya. Ia akan keluar bila proses telah
selesai. Selama itupun jantung Aisyah berdeguk kencang, saat orangtua dari
pihak laki-laki menyebut nama seseorang yang melamarnya terdengar samar-samar.
Yang terdengar oleh Aisyah yaitu nama Muhammad Alfat.
Aisyah berbisik dalam hati "Ya
Allah... Aku terima semua takdirmu bahwa Muhammad Alfat akan menjadi
pendampingku" Dan sekarang Aisyah akan mendendar suara seorang laki-laki
yang mengkhitbahnya dari bilik kamar.
Aisyah tercengang karena Ia merasa
mengenali suara seseorang. Suara itu mengingatkan pada Aisyah pada kejadian di
Curug Cipanji.
"Saya Muhammad Alfatih Firdaus.
Dengan niat yang tulus dan sungguh-sungguh untuk melamar Aisyah Nur'ainul
Mardiah."
Aisyah meneteskan air matanya, dan
sujud syukur kepada Allah SWT. Karena begitu indah dipertemukan dengan sosok
yang akan menjadi imamnya. Lalu Aisyah menghapus air mata kebahagiaannya saat
ibu telah menjemputnya dari kamar, agar segera menemui orang-orang yanh telah
menanti kehadirannya.
Sosok perempuan anggun dengan
balutan gaun muslim berwarna putih dan hijab ungu yang menjuntai menjadi pusat
perhatiaan saat itu, termasuk Fatih yang menoleh dengan senyuman pada Aisyah.
Aisyah tidak menyangka bahwa
Pangeran penolong dan Sosok misterius penemu kameranya itu adalah orang yang
sama. Memang pilihan Abah tidak pernah salah, di bawah naungan kedainya Abah
dan Fatih dipertemukan dan saling mengenal.
Malam itu, bagi Aisyah langit Ciwidey
lebih indah dari biasanya. Bintang yang ada di hadapannya kini lebih terang
daripada ribuan bintang di luar sana. Dari pertemuan singkat di perjalanan sebuah
curug, menjadi sebuah awal perjalanan panjang dalam menuju sebuah tujuan hidup.
Karya: Tria Aprilianti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar